![]() |
Kepiting Gotho | Ari Kristyono |
Bahkan,
berwisata di Karimunjawa pun suatu kali bisa juga membosankan. Ini tentu kasuistis, misalnya ketika hujan
sepanjang hari mengguyur wilayah kepulauan 60 mil laut di utara Jepara, dan
memaksa wisatawan yang paling betah di pantai dan menceburkan diri ke laut pun,
terpaksa memilih bernaung di bawah atap.
Untungnya,
selepas pukul 21, hujan benar-benar reda, awan gelap menyibak menampakkan bulan
sabit dan beberapa bintang.
“Kita
berburu kepiting saja, mau?”
Itu ide
Gelora Gusnama atau lebih dikenal dengan nama lokal, Pak Agus, sobat masa kecil
yang sudah hampir dua dekade ini memilih hidup dan berbisnis di Karimunjawa.
Jika Anda pernah ke Karimunjawa dan menginjakkan kaki di Bukit Love, pria asal
Solo inilah pemiliknya.
Berburu
kepiting? Langsung kebayang hewan berkaki delapan dengan capit-capit kekar agak
menakutkan bagi yang tidak biasa menyentuhnya dalam kondisi hidup. Tapi kalau
sudah matang berbumbu, hanya pengidap alergi dan orang bodoh saja kira-kira yang
menolak.
Tentu saja
maulah, siapa tidak mau makan kepiting segar karena baru ditangkap? Gratis
lagi.
Yang
dimaksud Gelora ternyata bukan kepiting bakau (Scylla sp) yang biasa dijadikan
menu di restoran seafood. Agak jauh di ujung utara Pulau Kemujan (Pulau
Karimunjawa dan Pulau Kemujan adalah dua daratan terbesar di kepulauan
Karimunjawa, keduanya kemudian menyatu karena pendangkalan rawa) terdapat hutan
di tepi pantai, dengan tanah keras berkarang. Di situlah banyak kepiting gotho,
bersarang dalam lubang-lubang berdiameter sekitar 10 cm di tanah.
Sampai saat
nulis cerita ini, saya belum berhasil menemukan apa nama latin kepiting gotho,
atau nama lain yang dikenal. Tapi dari ciri-cirinya, ini jelas beda dengan
gambaran yuyu gotho, jenis kepiting besar beracun yang dikenal di perairan
Jepara dan Rembang. Entah bagaimana bisa ada nama yang sama, di daerah yang
berdekatan, tapi yang dimaksud berbeda. Gotho di Jepara konon sangat beracun,
bisa mematikan. Yang di Karimunjawa, berukuran sekepalan tangan orang dewasa,
dan enak dimakan.
Dengan
berbekal senter dan karung, kami pun berangkat. Begitu memasuki hutan, langsung terlihat lubang-lubang sarang
kepiting gotho bertebaran. Cara berburu cukup mudah, kata Gelora, cukup pasang
mata dan langsung terkam dengan tangan kosong jika terlihat kepiting merayap.
Cukup mudah
dengkulmu!
Nyatanya, tak
gampang menemukan –apalagi menangkap—kepiting gotho. Meski sesekali terlihat
ada gerakan di tanah, rasanya terlalu cepat untuk dikejar. Kepiting gotho
ternyata lebih kecil dari kepiting bakau, dan setiap kali terlihat mereka cepat
sekali merayap lalu menghilang ke salah satu lubang.
![]() |
Brian dan hasil tangkapannya | Ari Kristyono |
Namun, bagi
yang terbiasa memang mudah. Gelora mengajak anak laki-lakinya, Brian, yang
dengan tangkas langsung berhasil menangkap seekor kepiting yang terlambat
menyelamatkan diri masuk liang. Yang sudah telanjur bersarang pun dirogoh dan
ditarik paksa.
Perburuan
berakhir memuaskan, karena setelah dua jam menyusuri hutan dan hanya berhasil
menangkap 6 ekor kepiting, kami bertemu warga setempat yang juga sedang
berburu. Melihat perolehan kami, dia tanpa banyak omong langsung merogoh
karungnya dan memindahkan ke karung kami.
Total ada 25
ekor kepinting gotho yang dibawa pulang. Gelora memasaknya dengan cara yang
cukup unik. Cairan di bawah cangkang kepiting dikumpulkan, lalu dibumbui
sehingga menjadi semacam saus yang enak. Jujur memang tidak selezat kepiting
bakau atau rajungan yang berdaging tebal. Namun, berburu kepiting gotho bisa
menjadi selingan yang menyenangkan, saat berwisata ke Karimunjawa.
0 comments:
Post a Comment