• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Wednesday, 14 October 2015

Jenang Sura, Tradisi Wong Solo Menyambut Pergantian Tahun Jawa

05:29 // by catatan cah angon // , // 2 comments





SUNGGUH, aku tak bisa makan nasi lemes, apalagi bubur. Sejak kecil, Bapak dan Ibuku menyarankan aku belajar makan apa saja agar tak menyusahkan diri sendiri, ternyata usaha keras untuk makan bubur nasi hanya berhasil mengubah aku bisa makan lontong dan ketupat.

Tapi, hampir setiap tahun aku mesti menyempatkan diri menonton Pak Jack masak jenang sura. Setiap pergantian tahun Jawa 1 Sura, jenang sura sering hadir di meja makan wong Solo. Banyak yang sengaja membuatnya dalam jumlah banyak, lalu dibagikan ke kerabat dan tetangga dekat.  

Termasuk Pak Jack, Joko Suryono, dosen ISI Solo yang sejak aku jadi wartawan sering berperan jadi ensiklopedia hidup soal apa saja: budaya, sejarah, militer, keris, batik, kuliner, dan banyak lagi.

“Tradisi ini, sudah sejak eyang saya. Di masa lalu ini biasa dimasak dan dimakan bersama-sama pada saat warga kampung melakukan tirakatan. Acaranya mirip tirakatan malam 17 Agustus sekarang, tapi dulu tiap malam 1 Sura. Perubahan terjadi setelah rezim Orde Baru, tirakatan di kampung-kampung bergeser ke malam Hari Proklamasi,” papar Pak Jack di rumahnya di Badran.

Cerita Pak Jack, sampai dengan tahun 1960-an, di Solo banyak warga di kampung melakukan ritual setiap malam 1 Sura. Mereka berkeliling kampung dalam sikap khidmat dan tidak berbicara sama sekali. Salah seorang sesepuh kampung, mengucurkan air kendi sepanjang jalan mengitari kampung sebagai permohonan agar dusun mereka terhindar dari petaka.

Karena sampai saat itu Solo masih sering terkena pagebluk. Mulai dari wabah kolera, dipteri, bahkan fenomena jagung beracun dan banjir besar tahun 1966 yang diyakini gejolak alam yang ingin membilas bumi pertiwi dari banjir darah yang tumpah saat pemberontakan G 30 S PKI.

“Yang saya ingat, airnya tidak boleh putus mengalir, jadi kendi yang dibawa banyak. Setelah itu, warga bersama-sama menikmati jenang Sura,” imbuhnya.

Jenang Sura, adalah bubur beras yang dimasak dengan bumbu santan, garam dan daun salam sehingga bercitarasa gurih. Dimasaknya harus dengan api kecil dan terus menerus diaduk, agar tidak beraroma sangit.

Lauknya agak ramai, yakni teri goreng, perkedel kentang, acar kuning, klengkam, abon atau terik daging, telur dadar yang digoreng tipis dan dirajang halus dan kerupuk udang.

Tidak hanya dimakan, warga banyak juga yang menyajikan seporsi jenang sura di sebelah bokor kembang setaman. Kata Pak Jack, itu bukan sesaji untuk dhemit, tapi untuk mengingat dan menghormati para leluhur yang sudah mendahului kita.

Baiklah.

Munggung, 14 Oktober 2015

2 comments: